Catatan Designer dan Produk Yang Tak Kunjung Rilis

Apa rasanya jadi UX designer di suatu tempat yang belum memiliki produk digital sama sekali?

Adhitya Bobby
7 min readJan 13, 2021
Photo by Markus Winkler on Unsplash

Belakangan ini, gue suka mikir. Ini adalah tahun kedua gue di Ceritain semenjak pertama kali gabung November 2019 lalu. Sejak itu pula kita sudah banyak bereksperimen dengan landing page website kita. Mulai dari redesign landing page, bikin simple social-media dan chat feature untuk curhat dengan konselor sebaya/psikolog, sampe reschedule jadwal. Semua jalan ninja sudah dilalui, mulai dari research → design → testing.

Setelah testing, 6 bulan pun tidak ada kelanjutan.

Guess what? Sampe dapet e-mail “inactive” dari Firebase. LOL

Komposisi tim disini sebenarnya lumayan terbatas, dan sudah sempat diperingatkan oleh VC favorit kita semua dari Sequoia — you know lah, haha — kalo kita jangan fokus buang-buang duit (dan waktu) di product development. Dia bersikeras kalau market size kita masih terlalu kecil, dengan pesaing sejenis yang banyak, dan mendapatkan sekian persen dari TAM (total addressable market) pun tidak menjamin kita bakal survive selama gabisa offer something new buat market.

Hoho, yes. Se-menegangkan itu.

Kalau menarik diskusi ini sebagai founding member, tentu gue akan berpikir untuk “yaudah deh, mungkin kita musti pivot, do something else yang kira-kira lebih menguntungkan…”

Tetapi, disini gue juga sebagai the only designer (and also tech guy) on the team. Jika tetap bertahan dengan terus meningkatkan layanan konvensional kita seperti biasanya — konseling via IG/Twitter, terapi, event psikologi, support group — , terus apa gunanya gue disini sebagai designer?

I can’t call myself as UI/UX Designer here because there’s no interface, even digital product/web/app to design with.
Apakah ini yang namanya existential crisis?

“Terus gue mau naroh title apa di headline LinkedIn?”

*misalkan… Ini bukan contoh yang baik tolong ya, plis.*

Until I learned something that design isn’t just about the interface.

Let’s going back further to the very basic. Kalo kita cari definisi “apa itu design” di Wikipedia, jawabannya adalah:

“A plan or specification for the construction of an object or system or for the implementation of an activity or process.”

Udah ngeh, belum? Coba baca lagi baris pertama.

Yes, design adalah sebuah plan atau “rencana”.

Bakal lebih panjang lagi sih bahasannya kalo misal kita harus mengklasifikasikan banyak hal tentang “mana yang merupakan sebuah design” dan “mana yang bukan termasuk design”.

Tentu tiap rencana pasti ada tujuannya dong, dan ada proses untuk mencapai “certain goal” tersebut. Iya ngga?
Misal, buku menu — dibuat supaya orang-orang yang datang untuk makan di restoran bisa tau apa aja yang dijual di restoran tersebut (proses) supaya mereka bisa makan (goal).

Oh, related to the topic… kamu bisa juga baca ini sebagai referensi:

What is design? | Koos Looijesteijn

The Meaning of Design. Design isn’t just about making things… | by Reena Merchant | Google Design | Medium

Then, what?

Good question. Selama 3 bulan terakhir, gue mencoba untuk ngobrol dengan semua founding member, dari Head of Psychologist kita (go follow her, dia podcast-nya bagus), our beloved content writer, technical advisor, sampe berulang kali diskusi dua arah dengan Maya, the other founder untuk cari tahu apa sih yang salah dari perjalanan kita selama setahun terakhir.

For disclosure, none of these people are coming from design or tech degree or having a bit knowledge of design or tech. Gue bisa safely assume that I’m the only nerds here, dan planning mereka untuk website sudah ada sebelum gue join the team. And here’s what I learned along the way:

The problem isn’t just about the product. It’s the team.

Karena gada kerjaan as designer, then I have to work on something else, right?

Until I found out that our team was a bit messy.

First, gue ngobrol sama content writer. Dari pembicaraan itu, gue akhirnya tahu kalo selama ini problemnya bikin konten adalah miskomunikasi antara tim konten dengan tim psikologi. As someone who encouraged people to take care of their mental health, this is dangerous. Semua konten yang disebarkan harus mempunyai dasar psikologi — or at least psikoedukasi, supaya audiences semakin aware.

Then, gue ngobrol sama tim psikologi. Apakah selama ini mereka mengalami kesulitan saat sesi curhat berlangsung? What’s their pain point?
Ternyata mereka mengalami keterbatasan waktu dam durasi konseling yang tidak pasti. Konseling yang dilakukan via chat akan sulit untuk dibatasi durasinya jika tidak dilakukan di platform terpisah. Malah kasihan si konselor, udah luangin waktu buat dicurhatin, eh yang curhat malah konseling sambil kuliah. Malah ga fokus mau cerita apa, ga dapet esensi konselingnya, waktu terbuang percuma.

Solusi yang bisa gue tawarkan saat itu adalah penjadwalan sesi waktu konseling, dan perubahan durasi jam kerja konselor dari yang sebelumnya tidak diatur melainkan hanya berdasarkan kesepakatan hari, menjadi maksimal 4 jam per hari per konselor, dan setiap konselor juga akan mendapatkan day-off.

Semua konselor disini adalah volunteer, jadi gue berusaha untuk menghargai waktu mereka diluar sesi konseling dan kepentingan Ceritain.

Is it work for now?

Maybe, but at least satu masalah sudah sedikit terpecahkan.

About content planning.

As C-Level, I would say that our previous contents, especially Instagram are pretty bland — and also a bit mundane.

This is our contents style from 2019 until early 2020.

Then you can compare it to what we’ve done for the last 8 months, here below.

The latest posts.

See the differences?

What’s changed?

Gue cuman minta tolong graphic designer buat ganti font dan warna yang udah gue default buat brand Ceritain.
Other than that, I did nothing.
The whole team did.
Delapan bulan berjalan semenjak pake format ini, engagement di Instagram mulai lebih baik — big thanks to the content team!

Semenjak itu, variasi konten mulai bertambah. Mulai dari giveaway buku, live Instagram, webinar, hingga support group.

And there are still more new things yang masih gue masak buat 2021, so stay tune.

Generating ideas, but with data.

Salah satu cara yang gue coba untuk menghandle keinginan stakeholder untuk mencoba rencana baru, taktik baru, sampe ide pivoting yang belum jelas masa depan dan asal-usulnya itu adalah dengan mencoba melatih mereka untuk regenerating ideas based on data, ga cuman berdasarkan asumsi.

Sempat terlintas keinginan tim untuk mengubah strategi bisnis menjadi sesuatu yang lebih segmented — karena percayalah, bisnis konseling online itu ga selalu menguntungkan. You need another new funnel to generating revenue. Then I’m questioning them: “Do you have something to show? Data? Market share? Value? How was the framework?”
They said they did not.

Lah terus ngapain pivot???
Apa jaminannya kalo it wouldn’t end the same way like we do now?

Then I’m starting to collect all the counseling data, manually. (yeah I know, it’s that bad. But I did it anyway.)

What do I learn from product design adalah kita harus bisa paham gimana patternnya si user. What’s that trigger them untuk hit the message button dan konseling sama kita? Darimana asalnya orang-orang ini.

Then I found kalo hampir 70% dari 180+ sesi konseling kita berasal dari orang-orang yang mengikuti live event, webinar ataupun support group.

So much, eh?

Looks like we’re not persistent enough. We need more contents to drive the engagement numbers. Tapi kita juga lupa kalo interaksi secara langsung juga membantu kita untuk mendapatkan user.

Kita berpikir kalo kita udah punya data yang cukup. Kita berpikir kalo jumlah interaksi yang kita dapat sudah mampu menggambarkan masalah apa yang kita hadapin.

Padahal itu cuman secuil. Secuil.

Huft.

Dan akhirnya kita belajar:

“It’s not wrong to have new ideas. But please, at least do your own research. This is not a problem that would be solved in one night.

New Year’s reflection.

Well, pada akhirnya pun 2021 kita kembali menyiapkan banyak hal baru. Blog, podcast, online campaign, semua sudah ada di tangan tinggal dipilah mana yang bisa diluncurkan terlebih dahulu. We’re also having some good partnership with other companies and entities, tapi nanti aja kita umumin (ehehe).

Jadi kalo ditanya orang,

“Jadi, role Product Experience lu di Ceritain tuh gimana?”

Gue bakal jawab gini sih:

“Ada banyak hal yang bisa dikerjain. Measuring the team’s performances, jadi idea dump buat stakeholders, dan mastiin semua orang mendapatkan pengalaman terbaik selama konseling.”

Terdengar mirip seperti kerjaan CEO, but please. I am not the CEO.

Dan mungkin aja suatu hari ketika Ceritain sudah menemukan forte-nya (baca: funding), gue bisa kembali ke pekerjaan terdahulu:

designing pixel-by-pixel for our websites and apps from Figma.

Or maybe gue bisa aja jadi C-level and hiring someone to do my job instead. Huft.

Kalo lu misal nanya apakah gue happy dengan pekerjaan ini, meskipun still with small revenue stream, I would say I am proud with what we’ve done so far.

2022 Update:

After so many considerations, 2 years operational & 300+ counseling sessions, we decided to stop Ceritain. It’s a pity, because I still wanted so many things for the company, for the dream, but life needs to keep going on. Our real jobs are challenging enough & it’s difficult to maintain few things at the same time, on the same priority levels. But otherwise, it’s a good journey.

A good lesson that forever changed my life.

--

--

Adhitya Bobby

I write things that comes out of my head. For journaling purposes.